Pintu kamar tidur terbuka dan lampu menyala menandakan waktu tidur siang telah usai. Satu balita mungil merangkak dengan rambut acak-acakan dan mata kantuk. Ia tersenyum sembari menjangkau ayahnya, dari bibir kecilnya ia menggumam, meminta sesuatu yang sangat diidam-idamkan oleh anak-anak dari generasinya, "iPhone!"
Telepon seluler jenis iPhone telah merevolusi telekomunikasi dan sekaligus menjadi alat yang paling efektif dalam sejarah manusia untuk menenangkan anak-anak yang rewel, sehingga para orang tua bisa dengan merdeka bercengkrama di restoran atau menjelajah lorong-lorong mall dengan tenang.
Sama seperti orang dewasa yang tidak bisa bisa meninggalkan iPhone mereka sekejap pun, perangkat itu kini jadi 'mainan pilihan' anak-anak, layaknya boneka-boneka binatang.Fenomena ini menarik perhatian dan keprihatinan beberapa pakar pertumbuhan anak-anak.
Natasha Sykes, ibu dari dua orang anak di Atlanta mengenang puterinya, Kesley, yang berusia 2 tahun ketika pertama kali memegang iPhone ayahnya.
"Ia menekan tombolnya dan benda itu menyala. Saya hanya mengingat matanya. Itu seperti 'Woow!'," cerita Nyonya Sykes tentang puterinya yang kini berusia 3,5 tahun.
Skyes dan suaminya sangat terkesan dengan kengintahuan puteri kecil mereka tetapi belakangan mereka mulai sadar. "Ia sangat serius terhadap ponsel itu," tukas Nyonya Sykes. Kelsey akan meminta posel cerdas itu. Ia bahkan merengek-rengek untuk itu.
"Ia tampaknya selalu menginginkan benda itu," papar Nyonya Sykes.
Bahkan, suatu hari setelah mencari selama enam jam Nyonya Sykes dan suaminya menemukan iPhone itu tergeletak di bawah tempat tidur Kesley. Mereka memang tertawa tetapi agak prihatin. Kesley dan adik laki-lakinya yang berusia dua tahun, Chase, mempunyai permainan-permainan seperti Lego, bola, mobil-mobilan, dan begitu banyak buku. Sayangnya dari semua itu tidak satu pun yang bisa menandingin iPhone.
"Jika mereka bisa memilih antara mainan itu dan iPhone mereka pasti akan memilih iPhone," kata Nyonya Sykes.
Lain lagi Brady Hotz, bocah yang akan berusia dua tahun akhir bulan ini. Ia pernah ogah keluar dari rumahnya di Chicago, Amerika Serikat. Ketika itu ia memang bangun telat. Ibunya, Kellie Hotz, sedang terburu-buru. Ibunya mengganti bajunya, memberinya susu dan sereal.
"Kita akan berangkat," kata Kellie. Tapi, Brady tidak menggerakkan pantatnya dari kursi.
"Mickey... Mickey...," ia merengek berkali-kali menyebut salah satu program televisi yang paling digemarinya. Ia tidak akan beranjak. Nyonya Hotz sudah berpengalaman dalam mengatasi situasi seperti itu.
"Bagaiamana kalau menonton Mickey di ponsel saja?" dan si Hotz kecil pun mau berangkat bersama sang Ibu.
Nyonya Hotz memutar beberapa rekaman Mickey di You Tube via iPhone-nya dan Hotz kecil bersenandung kecil penuh keceriaan di dalam mobil ibunya.
Masalah baru datang ketika si Balita ingin tetap berada dalam mobil bersama mainan barunya itu. Akhirnya ia meletakan IPhone itu ke dalam saku jaketnya dan keluar dari mobil.
"Kadang saya membutuhkannya karena seseorang menelpon dan anak saya tidak memberikannya sama sekali," ketus Nyonya Hotz.
Apple, perancang dan pembuat iPhone, telah membangun keberhasilannya pada perangkat yang sederhana dan intuitif yang bahkan bisa digunakan oleh orang dewasa yang gagap teknologi (gaptek). Tidak heran jika anak-anak yang cerdas pun bisa menggunakannya.
Model iPhone terbaru yang sepanjang 4,5 inchi, lebar 2,31 inchi, berat 4,8 ons, ramping tetapi tidak terlalu kecil untuk mereka yang masih mengembangkan kemampuan motorisnya. Bayangkan, sentuh satu gambar di layar dan sesuatu terjadi.
Kebanyakan Memang banyakan aplikasi iPhone di pasaran ditujukan untuk anak-anak yang akan masuk jenjang pendidikan formal. Sebut saja 'Toddler Teasers', aplikasi permainan anak-anak bertuk-bentuk dasar seperti segitiga, segiempat, atau lingkaran. Atau juga 'Pocket Zoo' yang menayangkan secara 'streaming' rekaman tentang binatang-binatang dari seluruh dunia.
Meski ada ketakutan adanya gangguan terhadap perkembangan anak, banyak orang tua yang membiarkan anak mereka menggunakan iPhone tidak merasa bersalah. Mereka bingung apakah perangkat itu sebuah alat edukasi atau perangkat hiburan seperti televisi.
Para dokter dari 'American Academy of Pediatrics', organisasi bergerak dalam bidang kesehatan anak di AS, telah lama mewanti-wanti orang tua untuk tidak membiarkan anak-anak mereka menonton televisi sampai mereka berumur dua tahun.
Dr Gwenn Schurgin O'Keeffe, seorang pediatris yang juga anggota dari organisasi itu mengatakan kelompok mereka sedang terus mempelajari panduan untuk mengatasi bentuk 'tayangan' baru itu.
"Kami selalu mencoba untuk mengatasi teknologi terbaru, tetapi industri ponsel menjadi semakin kompleks sehingga kami selalu kembali memikirkannya dan bingung bagaimana menetapkan panduan yang tepat untuk ponsel," ujar O'Keeffe lagi. "Untuk saat ini kami melihatnya sama dengan televisi," tambah O'Keeffe.
Jill Mekols Etesse, seorang ibu dari dua puteri yang berusia tiga dan delapan tahun yang tinggal di luar Washington, percaya anak bungsunya punya kemampuan menguasai kosa kata, membaca, dan mengeja lebih baik dari pada kakaknya karena belajar dengan iPhone dan iPad.
Puterinya yang berusia tiga tahun itu telah bisa mengeja kata seperti 'Starlight dan fireworks' menggunakan aplikasi yang disebut Montessori Crossword.
"Ia bahkan telah menggunakan kata yang saya tidak gunakan sehingga saya tahu itu tidak berasal dari saya," kata Nyonya Etesse.
Tetapi seorang psikolog, Jane M Healy, dari Vail, Colorado punya pendapat lain.
"Setiap orang tua yang berpikir bahwa program yang mengajarkan mengeja bersifat mendidik untuk anak-anak pada usia itu (balita), maka mereka keliru tentang bagaiamana otak seorang anak usia prasekolah berkembang,' kata Healy.
"Anak-anak usia itu perlu banyak gerakan tubuh dan memanipulasi sebanyak mungkin obyek, bukan main-main dengan teknologi," papar Healy lagi.
"Anak tidak belajar membaca dengan membariskan huruf-huruf. Mereka belajar membaca dengan mengerti bahasa, dengan mendengar. Orang tua yang terlalu sibuk membiarkan anak-anak bermain dengan perangkat elektronik mereka. Lalu di mana bahasa? Tidak ada!" kata Healy ketus.
Nyonya Etesse dan suaminya telah membatasi dua anaknya mengakses 'gadget' canggih itu. Mereka kini hanya boleh menatap layar iPhone tidak lebih dari sejam sehari.
Layaknya televisi saat baru muncul, dunia orang tua terbagi dua kubu, mereka yang membiarkan penggunaan iPhone dan mereka yang tidak.
Sebuah tulisan pada laman UrbanBaby.com, sebuah laman yang populer di antara para orang tua, meminta agar orang tua awas jika anaknya lebih tertarik bermain dengan iPhone ketimbang mainan betulan.
"Kami tidak membiarkan balita kami menyentuh iPhone... itu menjauhkan mereka dari permainan yang kreatif," demikian termaktub dalam artikel itu.
"Tolong katakan tidak. Tidak begitu sukar untuk mengalihkan perhatian seorang anak pada, misalnya, buku," papar sang penulis.
Kathy Hirsh Pasek, seorang professor psikologi dari Temple University, termasuk dalam kelompok yang mengatakan "tidak" kepada iPhone untuk anak. Ia mengatakan sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak belajar lebih baik dari kegiatan yang aktif yang membantu mereka beradaptasi.
Akan tetapi, Dr Hirsh Pasek harus mengakui dampak perangkat mutakhir itu, ketika ia melihat banyak orang tua memberikan anak mereka iPhone ketika sedang menempuh perjalanan menggunakan kereta bawah tanah. "Ini adalah ponsel ajaib, harus saya akui, saya kecanduan pada ponsel ini," pungkas Hirsh Pasek.
Sumber: The New York Times / antaranews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar